BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.[1]
Pendidikan
merupakan sarana terpenting dalam kehidupan berbangsa, karena dengan pendidikan
tujuan negara dalam mencerdaskan bangsa yang tercantum dalam undang-undang 1945
dalam alinea ke 4 akan dapat tercapai. Pendidikan pula yang dapat memberikan
seseorang wawasan yang luas mengenai hal-hal spesifik yang ingin diketahuinya.
Wawasan yang sangat luas sangat dibutuhkan dalam menghadapi perkembangan zaman
terlebih mengenai munculnya aliran-alian baru yang dapat menggoyahkan Aqidah
kita. Islam memang tidak memandang seseorang dari alirannya, namun tidak lupa dengan
Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Rasulullah SAW
bersabda: “Akan terpecah umatku sebanyak 73 firqoh, yang satu masuk Surga dan
yang lain masuk Neraka.” Bertanya Para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk
Neraka) itu (ya Rasulullah)?” Nabi Menjawab: “Ahlussunnnah wal Jama’ah.”
Sehubungan
dengan Hadits tersebut maka seseorang harus memiliki wawasan yang luas terkait
dengan aliran yang diikutinya terlebih bagi pelajar Madrasah Aliyah sebagai
bekal hidup di Masyarakat agar seseorang dapat mengamalkan Amaliyah-Amaliyah
yang diajarkan didalamnya. Salah satu Aliran terbesar adalah Nadhatul Ulama’.
Nadhatul Ulama’ dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa
dan Negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman, juga didasari
nilai-nilai ke-Indonesiaan dan semangat Nasionalisme yang tinggi. Nadhatul
Ulama’ didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu
menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta
mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama islam dan para pemeluknya
sebagai Rahmatan lil ‘Alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam). Sebagai
organisasi keagamaan, Nadhatul Ulama’ merupakan bagian tak terpisahkan dari
umat islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan
antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan
atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan
bangsa yang kokoh dan dinamis.
Nadhatul
Ulama’ memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga
kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya
merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk
melakukan tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi
pendidikan bagi Nadhatul Ulama adalah Pertama, untuk mencerdaskan
manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia. kedua,
untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang
pembangunan bangsa. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan
mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam
mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nadhatul Ulama’ memandang
perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur. Sekolah atau
madrasah menjadi salah satu program permanen Nadhatul Ulama’, disamping jalur
non formal seperti pesantren.
Sekolah
yang dimiliki oleh Nadhatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter
masyarakat. Diakui oleh Masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah
atau madrasah selalu dilandasi oleh mental percaya pada diri sendiri dan tidak
menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nadhatul Ulama secara tegas
menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang
kegiatannya. Nu mungkin menjadi varian yang sangat pas untuk dikaitkan dengan
dinamika Aswaja diantara kelompok muslim Indonesia lainnya. Pasalnya, disamping
kesesuaian epistemologinya, juga NU-lah yang nyata-nyata mencantumkan secara
normatif dalam Anggaran Dasar organisasinya sebagai pengikut dan pembela paham
Ahlussunnah wal jama’ah. Dicatat dalam pasal 3 perihal aqidah dan pasal 4
mengenai tujuan sebagai berikut:[2]
Pasal 3.
“Nadhatul Ulama’ sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut
Paham Ahlusunnah wal jama’ah dan mengikuti salah satu madzab empat: Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali”. Pasal 4. “Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunnah wal jama’ah dan mengikuti salah satu madzab empat ditengah tengah
kehidupan, didalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasakan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Nadhatul
Ulama’ (NU) dan Ahlusunnah wal jama’ah (Aswaja) sebenarnya merupakan dua
entitas yang saling terpaut, bagaikan 2 sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Disatu sisi secara historis, berdirinya jam’iyah keagamaan NU memang dilandasi
oleh sebuah motivasi untuk menyebarkan dan mempertahankan tegaknya ajaran
Ahlussunnah wal jama’ah.[3] Menurut
Abu Fadhol Ahlussunnah wal jama’ah adalah kelompok yang senantiasa mengikuti
jalan Nabi dan para sahabatnya dalam kepercayaan atau pemahaman keagamaan,
yakni mereka para mutakallimin yang konsen kepada persoalan-persoalan teologi,
fiqh dan hadits serta mereka yang tekun dibidang tasawuf. [4]
Nadhatul
Ulama bertujuan: Menegakkan syari’at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal
Jama’ah, ialah Ahli Madzahibil Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali),
mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Masyarakat.[5]
Dengan
demikian dapat diperoleh pengertian bahwa aswaja dalam NU diletakkan sebagai
landasan, haluan, faham, atau akidah bagi NU. Menilik relasi semantis kata Aswaja
dalam berbagai rumusan NU tersebut maka menurut Muhibbin Zuhri, kedudukan atau
eksistensi aswaja dalam NU dapat dikategorikan menjadi 2 makna/fungsi, yakni:
sebagai kerangka doktriner, atau dasar hukum bagi NU dalam menyelesaikan
masalah-masalah keagamaan secara qawlan. Sebagai Manhaj al-fikr atau pemberi
arahan metodologis dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan. [6]
Ahlussunnah
wal jama’ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab. Aswaja hanyalah sebuah
manhaj al-fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan
para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan
relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. [7]
Ahlussunnah
wal jama’ah identik dengan “ma’ana “alaihi wa ashabi” seperti apa yang dijelaskan
Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Abu Dawud bahwa “ Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu
golongan”. Kemudian para sahabat bertanya, “siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Mereka itu adalah maana’alaihi wa
ashabi.” [8]
Dalam
hadits tersebut Rasulullah SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah
golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
Sahabat-nya. Dalam Ensiklopedia arab dita’rifkan bahwa Ahlussunnah wal jama’ah
itu sebagai: “Al-sunnah secara Lughatan bermakna al-thariqah (jalan atau
aliran). Dan secara istilahan semua yang berasal dari Nabi SAW baik dalam
bentuk sabda, perbuatan maupun pengakuan. Dan Ahlussunnah wal jama’ah adalah
mereka yang berpegang pada ajaran tersebut, sekaligus membela dan
mempertahankannya.
Kita tahu
bahwa selama ini tradisi yang dilestarikan NU seperti tahlil, ziarah kubur,
maulidan, istigotsah sudah sangat mapan karena langsung diinternalisasikan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti lembaga majelis tahlil, perkumpulan
seperti lailatul ijtima dan pengajian, serta lembaga-lembaga kependidikan yang
didirikan oleh NU seperti pesantren, madrasah ma’arif dan lain sebagainya.
Satuan-satuan
pendidikan yang ada didalam maupun diluar pesantren yang dikembangkan oleh
warga NU sudah demikian banyak jumlahnya. Mereka mengembangkan pendidikan
sebagai bentuk komitmen dari apa yang sudah dicita-citakan oleh NU. Dalam
konteks ini tugas organisasi sesungguhnya lebih pada mengayomi,
mengkoordinasikan dan meningkatkan mutu pendidikan yang sudah dikembangkan.[9]
Satuan-satuan pendidikan ini idealnya berfungsi sebagai pioner dan model
percontohan bagi satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU lainnya.
Menurut
Muhaimin jika dilihat dari sejarahnya setidak tidaknya ada dua faktor penting
yang melatar belakangi kemunculan madrasah, yaitu: Pertama adanya pandangan
yang mengatakan bahwa sistem pendidikan tradisional dirasakan kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat; kedua, adanya kekhawatiran atas
cepatnya perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran
sekular di Masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekularisme, maka
masyarakat muslim terutama para reformis berusaha melakukan reformasi melalui
upaya pengembangan pendidikan dan pemberdayaan madrasah.[10]
Jadi
secara historis madrasah terutama Madrasah Ma’arif sebenarnya lembaga yang
dijadikan sebagai alat modernisasi NU dan juga sebagai wadah jamaah (Masyarakat
NU) untuk ikut serta memikirkan pendidikan serta sebagai Jam’iyah, madrasah NU
merupakan wadah untuk melestarikan tradisi nilai-nilai lokal “Melestarikan hal
terdahulu yang baik dan merupakan hal baru yang lebih baik).
Dan
tradisi NU adalah tradisi Islam. Para ulama pendiri NU dan pengemban amanah
ke-NU-an adalah para ulama muslimin, pewaris ilmu para nabi, pelanjut dakwah
Rasulullah SAW. Agama NU diartikan rakyat kita sebagai agamanya orang NU,
agamanya para ulama’ NU, maka itu berarti mereka mengikuti yang terbaik dari
tradisi para ulama dan orang-orang NU. Dari Uswah hasanah itu mereka merasa
memiliki, menjadi bagian dari tradisi Aswaja yang diamalkan kalangan Nahdliyin.
Setelah mengikuti yang terbaik itu, mereka memaknai tradisi itu sesuai dengan
kepentingan mereka sebagai orang-orang desa, sebagai bagian dari bangsa
Indonesia. Juga mereka butuhkan untuk menjawab tantangan hidup ini. Disini
tradisi Aswaja dan pesantren itu menjadi sebuah ideologi, sebagai satu cara
pandang dan bersikap. Nah, disitulah kemudian mereka menyebutnya “agama NU”!
karena ada “kekuatan lebih” yang ada pada tradisi NU yang mereka tidak dapatkan
di tempatkan lain. Yakni adanya kekuatan pembelaan terhadap apa yang dikatakan
Kiai Saifuddin Zuhri dalam kutipan diatas: “Tradisi kerakyatan dalam mengabdi
kepada Allah SWT, dan menyebar kebaikan
ditengah-tengah masyarakat.[11]
Ikatan
bathin antara orang-orang desa dengan orang-orang NU akan terbentuk suatu
ideologi rakyat. Itu yang kemudian diisi oleh para ulama NU dan para kiai
pesantren menjadi sebuah tradisi Aswaja-Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan
orang-orang desa membaca ideologi tersebut sebagai “Agama Nu”. Tradisi ziarah
makam misalnya menjadi energi baru untuk sebuah revolusi rakyat, seperti
ditunjukkan dalam revolusi sosial di Karasidenan Pekalongan tahun 1945.
Demikian pula peristiwa heroik 10 November 1945 yang dipuji-puji oleh Tan
Malaka dalam tiga risalah politiknya, juga dibangun dari kedekatan
aktor-aktornya dengan tradisi keagamaan Nu dari kobaran “resolusi jihad”
Hadlratusysyekh Kiai Hasyim Asy’ari.[12]
Pada
tanggal 18 Agustus 2014 pelajaran aswaja dan ke-Nu-an sudah siap untuk
diterapkan. Kurikulum Aswaja dan Ke-Nu-an sudah bisa diterapkan diseluruh
madrasah dan sekolah LP Ma’arif NU yang berjumlah kurang lebih 13 unit.
Pendidikan Aswaja dan Ke-Nu-an diharapkan akan berjalan semakin masif
kedepannya. Apalagi gerakan faham keagamaan garis keras juga akhir-akhir ini
semakin terang-terangan. Hanya NU yang bisa menangkal gerakan tersebut.
Mata
pelajaran Muatan Lokal pengembangannya sepenuhnya ditangani oleh sekolah dan
komite sekolah yang membutuhkan penanganan secara profesional dalam
merencanakan, mengelola, dan melaksanakannya. Dengan demikian pelaksanaan
muatan lokal memperhatikan keseimbangan dengan kurikulum 2013. Penanganan
secara profesional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku kepentingan
(stakeholders) yaitu sekolah dan komite sekolah. Muatan lokal terdiri dari
beberapa macam, salah satunya adalah Aswaja/ke-Nu-an.
Dari
uraian latar belakang tersebut, penulis bermaksud mengetahui lebih lanjut
tentang Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran Mulok Aswaja. Dengan
itu penulis memberi judul penelitian ini: “Peningkatan wawasan ke-NU-an
melalui Pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo”.
Yang mana untuk mengetahui seberapa jauh peningkatan wawasan ke-NU-an melalui
Pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo.
B. Rumusan Masalah
Dari
pemaparan latar belakang diatas, peneliti menarik rumusan masalah dalam
penelitian yang akan dilaksanakan, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut ini:
1.
Bagaimana Wawasan ke-Nu-an Siswa Siswi MA
Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo?
2.
Bagaimana Pembelajaran Mulok Aswaja
(Ahlussunnah wal jama’ah) di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo?
3.
Bagaimana Peningkatan wawasan Ke-Nu-an melalui
pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono sidoarjo?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mendiskripsikan wawasan ke-Nu-an siswa-siswi MA
Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo
2.
Mendiskripsikan Pembelajaran Mulok Aswaja
(Ahlussunnah wal jama’ah) di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo
3.
Peningkatan wawasan Ke-Nu-an melalui
pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo
D. Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoritis
a.
Sebagai khasanah bacaan tentang “Peningkatan
wawasan ke-Nu-an melalui pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim Asy’ari
Sukodono Sidoarjo
b.
Sebagai bahan acuan dibidang penelitian yang
sejenisnya dan sebagai pengembangan penelitian lebih lanjut.
c.
Untuk menjadi masukan dan bahan rujukan dalam meningkatkan
wawasan ke-Nu-an melalui Mulok Aswaja.
2.
Kegunaan Paktis
a. Bagi
penulis, Penilitian ini berguna sebagai salah satu tugas yang harus
diselesaikan sebagai syarat guna mendapatkan gelar sarjana strata satu
pendidikan Islam, menambah wawasan dan pengetahuan serta pengalaman tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ke-Nu-an dan ke Aswajaan.
a.
Bagi pengajar, bisa menjadi tambahan wawasan
dan pengetahuan tentang ke-Nu-an dan menjadi tolak ukur dalam merealisasikan
Amaliyah-amaliyah ke Aswajaan.
b.
Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini bisa
menjadi bahan evaluasi atau pertimbangan dalam meningkatkan wawasan ke-Nu-an
melalui Mulok Aswaja guna untuk mencetak siswa-siswi yang berhaluan Ahlussunnah
wal jama’ah.
E.
Ruang
Lingkup dan Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang
lingkup penelitian sebagai berikut:
1. Kawasan
MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo.
2. Observasi
yang dilakukan juga pada pola interaksi, proses pembelajaran Mulok Aswaja yang
ada di lingkungan MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo dalam upaya meningkatkan
wawasan ke-Nu-an siswa-siswinya melalui pembelajaran Mulok aswaja.
3. Tahun
ajaran 2016-2017.
Untuk
memperoleh data yang relevan dan memberikan arah pembahasan pada tujuan yang
telah dirumuskan, maka ruang lingkup penelitian akan diarahkan pada:
1.
Pembahasan tentang Wawasan ke-Nu-an
a.
Pengertian Ke-Nu-an
b.
Peran Nu dalam dunia Pendidikan
c.
Karakteristik golongan Nu
d.
Nu sebagai gerakan penegak Ahlussunnah wal
jama’ah
2.
Pembahasan tentang Pembelajaran Mulok Aswaja
a.
Pengertian Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah)
b.
Dasar-dasar Amaliyah Aswaja-Nu
F. Tinjauan Pustaka
Dari
hasil kajian Pustaka Peneliti bahwa pembahasan tentang Peningkatan wawasan
ke-Nu-an melalui Pembelajaran Mulok Aswaja, ditemukan skripsi yang berkaitan
dengan hal ini, yaitu: Skripsi Purnawa Ziarohdin, dengan judul “Strategi
Aswaja NU Center dalam menanggulangi
Fundamentalisme Islam di Jawa Timur” Prodi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran
Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2015. Skripsi ini menjelaskan bahwa Masyarakat yang mempunyai
bermacam-macam kepercayaan dalam agama yang dibingkai dalam keberagaman budaya
membuat masyarakat relatif lebih mudah untuk menerima faham-faham baru yang
masuk kedalam aliran sendi kemasyarakatan. Bangsa yang telah terlabeli dengan
keramahan dan sopan santunnya ini membuat stigma untuk bisa menyebarkan dan
mengembangkan sebuah pemahan yang baru dalam masyarakat. Dengan munculnya
aliran yang dianggap sebagai pembuka, maka muncul gerakan aliran yang serupa
yang mememiliki faham fundamentalisme, yang didalam misinya ingin mendirikan
sebuah pemerintahan dengan menjalankan syariat Islam secara penuh. Gerakan
Islam yang bersumber pada perbedaan pandangan tentang pemahaman teks Al-Quran
sehingga mengakibatkan fenomena keIslamaan yang berbeda-beda tak ubahnya di
Jawa Timur, Jawa Timur yang mempunyai 26
juta orang sebagai warga Nahdlatul Ulama baik secara kultural maupun
struktural. Data ini diambil dari survey yang telah dilakukan oleh ISNU (
Ikatan Sarjana NU ). Dengan jumlah masyarakat Nahdliyin yang sangat besar ini,
menjadikan Nahdlatul Ulama di Jawa Timur mempunyai peran besar dalam mengawal
problematika umat yang ada di Jawa Timur. PW Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang
merupakan lembaga institusi yang sah, menjadikan peran NU sangatlah perlu dalam
menyikapi problematika umat dalam konflik aliran secara vertikal maupun
horizontal. Tanggung jawab yang besar ini membuat PW Nahdlatul Ulama Jawa Timur
membuat lembaga khusus dalam menangani dan menanggulangi faham-faham
fundamentalisme Islam yang diberi nama Aswaja NU Center. Yang memebedakan
dengan peneliti ialah bahwa Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui Pembelajaran
Mulok Aswaja sangat diperlukan dalam membekali masyarakat khususunya Siswa SLTA
di era Modernitas ini.
G. Definisi Operasional
Definisi
operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas dan mempertegas kata-kata atau
istilah kunci yang diberikan dengan judul penelitian “PENINGKATAN WAWASAN
KE-NU-AN MELALUI PEMBELAJARAN MULOK ASWAJA DI MA HASYIM ASY’ARI SUKODONO
SIDOARJO”.
1.
Peningkatan
Menurut epistimologi adalah menaikkan derajat
taraf dan sebagainya mempertinggi memperhebat produksi dan sebagainya.[13] Menurut
seorang ahli bernama Adi S, peningkatan berasal dari kata tingkat artinya lapis
atau lapisan dari sesuatu yang kemudian membentuk susunan. Tingkat juga dapat
berarti pangkat, taraf dan kelas. Sedangkan peningkatan berarti kemajuan.
Secara umum, peningkatan merupakan upaya untuk menambah derajat, tingkat, dan
kualitas maupun kuantitas. Peningkatan juga berarti penambahan ketrampilan dan
kemampuan agar menjadi lebih baik.[14]
2.
Wawasan
Secara etimologi kata wawasan berasal dari kata
wawas (bahasa jawa) yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan indrawai,
ditambahkan akhiran (an) bermakna cara pandang, cara tincau atau cara melihat.
Dari kata wawas muncul kata mawas yang berarti: memandang, meninjau atau melihat.
Wawasan artinya: pandangan, tinjauan, penglihatan, tanggapan indrawi, atau cara
pandang atau cara melihat.[15]
3.
NU (Nadhatul Ulama)
Nadhatul Ulama secara etimologi mempunyai arti
kebnagkitan Ulama atau bangkitnya para Ulama. Nadhatul Ulama adalah organisasi
islam terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak
dibidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Organisasi ini didirikan sebagai
perhimpunan atau perkumpulan para ulama dan jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sedangkan menurut istilah Nadhatul Ulama adalah Jamiyyah Diniyah yang memiliki
faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Organisasi ini pada awalnya dipimpin oleh K.H
Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.[16]
NU, menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara ekstrem Aqli (rasionalis) dengan ekstrem Naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi Nu tidak hanya Alqur’an,
sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal,ditambah dengan realitas
empirik.
4.
Pembelajaran
Belajar adalah suatu aktivitas atau proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap
dan mengokohkan kepribadian.[17]
Pembelajaran berasal dari kata “ajar”, mendapat awalan “pe-“ dan akhiran “–an”
menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau
mengajarkan peserta didik mau belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dengan kata
lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu
peserta didik agar dapat belajar dengan baik.[18]
5.
Mulok
Mulok adalah Muatan Lokal yang merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri
khas dan kesesuaian daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak
dapat dikelompokkan kedalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran
muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan tidak terbatas pada mata
pelajaran ketrampilan.[19]
6.
Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah)
Aswaja adalah Ahlussunnah wal jama’ah. Kalimat
Ahlussunnah wal jama’ah tersusun dari tiga kata dasar. Pertama, kata ahl kata
ini mengandung duia makna, yakni disamping mempunyai arti ‘al ‘asyirah wa dzawu
al-qurba” (keluarga dan kerabat), ia juga bermakna pemeluk aliran, pengikut
madzab dan pengikut paham Sunni. Sebab menurut Amin (1953), kata “ahl”
merupakan “badal” yang dikaitkan dengan kata sunnah atau pengikut Sunni, “Wa
qad isti’malat kalimatu “ahl” badal al-nisbah faqaaluu: Ahlussunnah ay
al-sunniyyin”. Kedua, kata al-sunnah, berarti al-hadits, al-sirah, al-tariqah,
al-tabi’aah, dan al-syari’ah. Disamping itu, kata al-sunnah dapat diartikan
sebagai jalan para sahabat Nabi dan Tabi’in. Ketiga, al-jama’ah berarti segala
sesuatu yang terdiri dari 3 atau lebih. Dikatakan sekumpulan orang, sekawanan
hewan dan sebagainya. Sedangkan menurut Zuhri, kata jama’ah diidentikkan dengan
penerimaan terhadap ijma’ sahabat (Konsensus sahabat Nabi) yang diakui sebagai
salah satu sumber hukum. Sedangkan secara istilah, makna buku ahlussunnah wal
jama’ah belum pernah ditemui. Namun definisi yang sering digunakan untuk
menyebut ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan yang mengikuti jalan Nabi dan
para sahabatnya.[20]
H.
Metodologi
Penelitian
1.
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu usaha untuk mengumpulkan,
mencatat dan menganalisa sesuatu masalah. Selain itu juga dimaknakan sebagai
suatu penyelidikan secara sistematis, atau dengan giat dan berdasarkan ilmu
pengetahuan mengenai sifat-sifat dari pada kejadian atau keadaan-keadaan dengan
maksud untuk menetapkan faktor-faktor pokok atau akan menemukan paham-paham
baru dalam mengembangkan metode-metode baru.[21]
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang sering disebut penelitian naturalistik yaitu Penelitian yang
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting).[22]
Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan
mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan perilaku
yang dapat diamati dari individu, kelompok, masyarakat atau organisasi
tertentu.[23]
2.
Subjek
dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah subjek yang
dituju untuk diteliti oleh peneliti. Objek penelitian adalah obyek yang
dijadikan penelitian atau yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam
penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah keseluruhan sumber daya
manusia yang ada di MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo yang berjumlah 5 orang,
yang menjadi objek penelitian yaitu Peningkatan wawasan ke-NU-an melalui
Pembelajaran Mulok Aswaja di MA Hasyim asy’ari Sukodono Sidoarjo.
Dalam penelitian ini peneliti bertindak
sebagai Instrumen sekaligus pengumpul data. Instrumen selain manusia dapat pula
digunakan, tetapi fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas peneliti sebagai
instrumen. Oleh karena itu kehadiran peneliti di lapangan untuk penelitian
kualitatif mutlak diperlukan.
Objek penelitian ini berada di MA Hasyim
asy’ari tepat di kelurahan Bangsri kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo,
letaknya tepat didepan jalan Raya sehingga mudah untuk dijangkau oleh Anggota
Madrasah dengan bangunan yang cukup baik dan berada dalam satu Yayasan dengan
MTs Hasyim Asy’ari, pemilihan objek ini didasarkan ada kemenarikan dari sekolah
ini yaitu adanya pembelajaran Mulok Aswaja yang berfungsi untuk meningkatkan
wawasan Ke-Nu-an siswa-siswinya dan tidak semua sekolah memiliki sistem
pembelajaran Mulok Aswaja seperti yang ada di sekolah ini, sehingga peneliti
berusaha mencari keunikan dari sekolah ini diantaranya adalah setelah
dilaksanakan pembelajaran Mulok aswaja tersebut apakah siswa siswinya memiliki
wawasan ke-Nu-an yang mendalam atau hanya sekedarnya? Disini peneliti berusaha
meningkatkan wawasan ke-Nu-an siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari melalui
pembelajaran Mulok Aswaja.
3.
Sumber
dan Jenis data
a. Data
Primer, adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara
lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat
dipercaya, yakni subjek penelitan atau informan yang berkenaan dengan variabel
yang diteliti atau data yang diperoleh dari responden secara langsung. [24]
b. Data
sekunder, adalah data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data yang menunjang
data primer. Dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan
oleh penulis serta dari studi pustaka. Dapat dikatakan data sekunder ini
bisa berasal dari dokumen-dokumen grafis seperti tabel, catatan,SMS, foto dan
lain-lain. [25]
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara
yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada
penelitian kali ini peneliti memilih jenis penelitian kualitatif maka data yang
diperoleh haruslah mendalam, jelas dan spesifik. Selanjutnya dijelaskan oleh
Sugiyono (2009:225) bahwa pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil
observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi.[26]
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
observasi, dokumentasi, dan wawancara.
1.
Observasi
Observasi menurut Kusuma (1987:25) adalah
pengamatan yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis terhadap aktivitas
individu atau obyek lain yang diselidiki. Adapun jenis-jenis observasi tersebut
diantaranya yaitu observasi terstruktur, observasi tak terstruktur, observasi
partisipan, dan observasi nonpartisipan.[27]
Dalam penelitian ini, sesuai dengan objek
penelitian maka, peneliti memilih observasi partisipan. Observasi partisipan
yaitu suatu teknik pengamatan dimana peneliti ikut ambil bagian dalam kegiatan
yang dilakukan oleh objek yang diselidiki.[28]
Observasi ini dilakukan dengan mengamati dan mencatat langsung terhadap objek
penelitian, yaitu dengan mengamati kegiatan-kegiatan yang ada di MA Hasyim
Asy’ari Sukodono Sidoarjo. Sehingga peneliti dapat menentukan informan yang
akan diteliti dan juga untuk mengetahui pengetahuan ke-Nu-an, pengetahuan
ke-Aswajaan, tugas/kegiatan, alamat, nomor telepon dari calon informan sehingga
mudah untuk mendapatkan informasi untuk kepentingan penelitian.
2.
Wawancara
Dalam teknik pengumpulan menggunakan
wawancara hampir sama dengan kuesioner. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3
kelompok yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan wawancara
mendalam (in-depth interview).
Namun disini peneliti memilih melakukan wawancara mendalam, ini
bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks, yang sebagian besar
berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi, Sulistyo-Basuki (2006:173).[29] Untuk menghindari kehilangan informasi, maka
peneliti meminta ijin kepada informan untuk menggunakan alat perekam. Sebelum
dilangsungkan wawancara mendalam, peneliti menjelaskan atau memberikan sekilas
gambaran dan latar belakang secara ringkas dan jelas mengenai topik penelitian.
3.
Dokumentasi
Dokumen menurut Sugiyono, (2009:240)
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.[30]
Dokumen yang digunakan peneliti disini berupa foto, gambar, serta data-data
mengenai Pembelajaran Mulok Aswaja dan kegiatan-kegiatan yang mendukung siswa lebih
faham tentang ke-Nu-an. Hasil penelitian dari observasi dan wawancara akan
semakin sah dan dapat dipercaya apabila didukung oleh foto-foto.
5.
Teknik Analisis Data
Analisis
data kualitatif menurut Bognan & Biklen (1982) sebagaimana dikutip Moleong
(2007:248), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang
lain.[31]
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari analisis
data adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian
mempresentasikan hasil penelitiannya kepada orang lain.
McDrury ( Collaborative Group Analysis of
Data, 1999 ) seperti yang dikutip Moleong (2007:248) tahapan analisis data
kualitatif adalah sebagai berikut:[32]
a. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata
kunci dan gagasan yang ada dalam data,
b. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya
menemukan tema-tema yang berasal dari data.
c. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan.
d. Koding yang telah dilakukan.
Analisis
data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci, yaitu
seseorang yang benar-benar memahami dan mengetahui situasi obyek penelitian.
Setelah melakukan wawancara, analisis data dimulai dengan membuat transkrip
hasil wawancara, dengan cara memutar kembali rekaman hasil wawancara,
mendengarkan dengan seksama, kemudian menuliskan kata-kata yang didengar sesuai
dengan apa yang ada direkaman tersebut.
Setelah
peneliti menulis hasil wawancara tersebut kedalam transkrip, selanjutnya
peneliti harus membaca secara cermat untuk kemudian dilakukan reduksi data.
Peneliti membuat reduksi data dengan cara membuat abstraksi, yaitu mengambil
dan mencatat informasi-informasi yang bermanfaat sesuai dengan konteks
penelitian atau mengabaikan kata-kata yang tidak perlu sehingga didapatkan inti
kalimatnya saja, tetapi bahasanya sesuai dengan bahasa informan.
Abstraksi
yang sudah dibuat dalam bentuk satuan-satuan yang kemudian dikelompokkan dengan
berdasarkan taksonomi dari domain penelitian. Analisis Domain menurut Sugiyono
(2009:255), adalah memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari
obyek/penelitian atau situasi sosial. Peneliti memperoleh domain ini dengan
cara melakukan pertanyaan grand dan minitour. Sementara itu, domain sangat
penting bagi peneliti, karena sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya.
Mengenai analisis taksonomi yaitu dengan memilih domain kemudian dijabarkan
menjadi lebih terinci, sehingga dapat diketahui struktur internalnya.[33]
I. Sistematika Pembahasan
Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang tata urutan penelitian ini, maka
peneliti mencantumkan sistematika laporan penulisan sebagai berikut:
BAB I :
PENDAHULUAN
Bab ini
menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, Ruang lingkup dan Batasan Maslah, Tinjauan Pustaka, Definisi
operasional, Metodologi Penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II :
LANDASAN TEORI
Bab ini
menjelaskan tinjauan tentang wawasan Ke-Nu-an
yang meliputi: pengertian wawasan Ke-Nu-an, karakteristik Golongan Nu,
dan Peran Nu sebagai Penegak Ashlussunnah wal Jama’ah. Mulok Aswaja yang
meliputi: pengertian Mulok Aswaja, tujuan dilaksanakannya Pembelajaran Mulok
Aswaja, dan pentingnya mempelajari Mulok Aswaja.
BAB III :
METODE PENELITIAN
Bab ini
berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian,
Tahap-tahap Penelitian, Sumber dan Jenis data, teknik pengumpulan data, teknik
analisis data.
BAB IV :
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Bab ini
berisi tentang:
A.
Profil MA Hasyim Asy’ari Sukodono Sidoarjo, meliputi: sejarah
berdirinya MA Hasyim Asy’ari, letak geografis MA Hasyim Asy’ari, visi-misi dan
susunan pengurus MA Hasyim Asy’ari, program kegiatan MA Hasyim Asy’ari, keadaan
sarana dan prasarana MA Hasyim Asy’ari, keadaan para guru serta keadaan siswa MA Hasyim Asy’ari.
B.
Penyajian data, meliputi data tentang wawasan
Ke-Nu-an dan sistem pembelajaran Mulok Aswaja Siswa-siswi MA Hasyim Asy’ari
Sukodono Sidoarjo.
BAB V :
PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN
Bab ini
berisi tentang pembahasan dan diskusi hasil penelitian
BAB VI :
PENUTUP
Bab ini
berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang berkenaan dengan penelitian,
kemudian dilanjutkan dengan daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas, Tangerang: SL Media, 2011.
Hakim. Lukman,
Perlawanan Islam Kultural (Relasi Asosiatif Pertumbuhan Civil Society dan
Doktrin Aswaja NU), Surabaya: Pustaka Eureka, 2004.
Baehaqi. Imam,
Kontroversi Aswaja (Aula Perdebatan dan Reinterpretasi), Yogyakarta:
LKIS, 2000.
Rahardjo. Mudjia, NU ditengah Globalisasi, Malang: UIN
Maliki Press, 2015.
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Baso. Ahmad, Agama NU untuk NKRI, Jakarta: Pustaka
Afid, 2015.
Peter salim
dan yeni salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern press, 1995.
Sujatmiko. Eko, Kamus IPS, Surakarta: Aksara Sinergi Medika
cetakan 1, 2014.
Suyono.
Hariyanto, , Belajar dan Pembelajaran, Bandung: PT. Rosdakarya, 2012.
Tim Cosma E
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Model dan Strategi Pembelajaran, Surabaya:
2011.
Education-mantap.blogspot.co.id/2009/12/mata-pelajaran-muatan-lokal.html?m=1
Trianto, Penelitian Tindakan Kelas,
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011
Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D),
Bandung: Alfabeta, 2013.
Bogdan R dan Biklen S, Qualitative & Quantitative Research for
Education, Boston: MA Allyn and Bacon, 1992.
Arikunto. Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Sugiyono, Metode
Penelitian Administrasi dilengkapi metode R&D, Bandung: Alfabeta, 2009.
Kusuma, A.
Halik P, Bahasa Indonesia Penelitian, Jakarta: Yasaguna, 1987.
Basuki. Sulistyo, Metode Penelitian, Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2006
Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
[1]
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas, (Tangerang: SL Media,
2011), h. 8.
[2]
Lukman, Hakim. Perlawanan Islam Kultural (Relasi Asosiatif Pertumbuhan Civil
Society dan Doktrin Aswaja NU), (Surabaya: Pustaka Eureka, 2004), h. 2.
[3]
Ibid., h. 17
[4]
Ibid., h. 30.
[5]
Ibid., h. 33
[6]
Ibid., h. 37
[7]
Imam Baehaqi, Kontroversi Aswaja (Aula Perdebatan dan Reinterpretasi),
(Yogyakarta: LKIS, 2000, h. 4.
[8]
Ibid., h. 75.
[9]
Mudjia Rahardjo, NU ditengah Globalisasi, (Malang: UIN Maliki Press,
2015), h. 143.
[10]
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005).
[11]
Ahmad Baso, Agama NU untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 6.
[12]
Ibid., h. 9.
[13]
Peter salim dan yeni salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern press, 1995), h. 160.
[16]
Eko Sujatmiko, Kamus IPS, (Surakarta: Aksara Sinergi Medika cetakan 1, 2014),
h. 195.
[17] Hariyanto, Suyono, Belajar dan
Pembelajaran, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2012), h. 9
[18] Tim Cosma E
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Model dan Strategi Pembelajaran, (Surabaya:
2011), h. 16
[19]
Education-mantap.blogspot.co.id/2009/12/mata-pelajaran-muatan-lokal.html?m=1
[20]
Lukman, Perlawanan Islam, h. 26.
[21]
Trianto, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2011), h. 11.
[22]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan
R&D), ((Bandung: Alfabeta, 2013), h. 14
[23]
Bogdan R dan Biklen S, Qualitative & Quantitative Research for
Education, (Boston: MA Allyn and Bacon, 1992).
[24]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 22.
[25]
Ibid., h. 22.
[26]
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi dilengkapi metode R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 225.
[27]
Kusuma, A. Halik P, Bahasa Indonesia Penelitian, (Jakarta: Yasaguna,
1987), h. 25.
[28]
Ibid., h. 25
[29]
Sulistyo Basuki, Metode Penelitian, (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra,2006), h. 173
[30]
Sugiyono, Metode Penelitian), h. 240.
[31]
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 248.
[32]
Ibid., h. 248.
[33]
Sugiyono, Metode Penelitian, h. 225.
0 komentar:
Posting Komentar