AL-AMRU LIL
WUJUB WA-NAHYU LIT-TAHRIIM
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Ushul Fiqih
DosenPembimbing :
Al-Quddus, NES. Lc, M.Hi
Oleh :
Rif’atul
Khoriyah (D91213164)
POGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam kajian
ushul fiqih, salah satu materi yang dibahas adalah tentang al-amr
(perintah). Al-Amr didefinisikan sebagai lafazh yang menunjukkan adanya
tuntutan untuk melakukan perbuatan dari yang disampaikan oleh yang lebih tinggi
kedudukannya kepada yang lebih rendah. Dalam pembahasan ushul fiqih, maksudnya
adalah dari asy-Syaari’ kepada kita. Sedangkan jika hal ini disampaikan
oleh yang lebih rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi disertai sikap
rendah diri dan ketundukan, ini tidak dinamakan al-amr, melainkan doa.
Al-Amr ini
pengungkapannya bisa berupa shighah al-amr, misalnya firman Allah ta’ala:
أَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ. Bisa juga berupa shighah al-mudhari’
yang bersambung dengan lam al-amr, seperti firman-Nya: فَمَنْ شَهٍدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ. Dan bisa juga berupa jumlah khabariyah yang bermakna
perintah, misalnya firman-Nya: وَلَنْ يَجْعَلَ اللَهَ
للْكَافِرِيْنَ عَلَى المًؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا. Al- Amr dapat dikatakan sesuatu yang berimplikasi
wajib, dan sebagian yang lain ada yang mengatakan Mandub, Mubah, at-Thalab,
irsyad. Semua pendapat Ulama’ akan di bahas dalam Pembahasan Selanjutnya.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Al-Amr ?
2.
Apa saja bentuk dan Hakikat
Al-Amr?
3.
Apa yang dimaksud dengan
Nahyi?
4.
Apa saja bentuk dan hakikat
Nahyi?
3.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian
dari Al-Amr
2.
Untuk mengetahui bentuk dan
hakikat Al-Amr
3.
Untuk mengetahui
pengeertian dari An-Nahyi
4.
Untuk mengetahui bentuk dan
Hakikat An-Nahyi
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Lafadz Al- Amr
1.
Pengertian Amr
Amr menurut bahasa artinya Suruhan, Perintah dan perbuatan,
sedangkan menurut Istilah yaitu Tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan,[1] Menurut
Jumhur Ulama’ Ushul, Definisi Amr adalah lafadz yang menunjukan tuntutan dari
atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi tersebut
tidak hanya ditujukan pada lafadz yang memakai sighat amr, tetapi ditujukan
pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah
tersebut terkadang menggunakan kalimat majazi (samar). Namun, yang paling
penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut mengandung unsur tuntutan untuk
mengerjakan sesuatu.[2] Jika
lafal khusus yang terdapat pada Nash Syara’ itu berbentuk perintah atau bentuk
berita yang bermakna perintah maka berarti kewajiban, yakni menuntut sesuatu
yang diperintahkan atau yang diberitakan secara tetap dan pasti.[3]
Firman Allah Swt: Faqtha’uu Aydiyahumaa (maka potonglah
tangan keduanya) berarti kewajiban memotong tangan pencuri laki-laki dan
perempuan. Firman Allah swt: Walmuthallaqaatu yatarabbashna (Wanita-wanita yang
ditalaq hendaknya menunggu) berarti kewajiban wanita yang ditalaq untuk
menunggu selama tiga kali quruu’ karena pendapat yang unggul menyatakan bahwa
bentuk perintah dan bentuk apapun yang berarti perintah secara bahasa dibuat
untuk arti kewajiban.[4]
2.
Pemakaian Sighat Amr
Bentuk Amr itu selain dari bentuk arti yang asal dapat
juga dipergunakan untuk bentuk yang lain, seperti:[5]
a.
Untuk Do’a : رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً
b.
Untuk Menakut-nakuti: اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ (Berbuatlah apa yang kamu ingini)
c.
Untuk Melemahkan: فَأ
تُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِه
(Buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-qur’an)
d.
Untuk kemarahan : مُوْتُوْ بِغَيْظِيْكُمْ (Matilah kamu karena kemarahanmu)
3.
Bentuk Amr dan
Hakikatnya
Para ulama’ ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini
digunakan untuk berbagai macam arti. Para ulama berbeda pendapat dalam
hal ini. Berikut sedikit penjelasannya:[6]
1.
Al- Amr menunjukan makna Wajib (الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ)
Mayoritas ulama mengatakan bahwa al-amr
itu bermakna tuntutan yang menunjukkan implikasi hukum wajib dengan sendirinya.
Dan implikasi wajib ini tidak akan berubah, kecuali ada qarinah yang
menunjukkan hal tersebut. Dengan kata lain, jika tidak ada qarinah yang
memalingkan ke makna yang lain, al-amr secara otomatis menunjukkan makna
wajib. Pendapat ini dipegang oleh Al-Amidi, As-Syafi’i, para Fuqoha,
kaum Mutakallimin, seperti Husein al-Bashri, dan Al-Juba’i.[7]
Al Amidi menyebutkan sebanyak 15 macam makna. Sedangkan
al-mahalli dalam Syarah Jamu’ al-jawami’ menyebutkan sebanyak 26 makna.
Ada dua sisi argumentasi yang dikemukakan oleh jumhur,
yaitu:[8]
a.
Sisi kebahasaan
Dari sisi
bahasa Arab, al-amr secara hakikat bermakna tuntutan yang bersifat pasti
(jazim) dan mengikat (ilzam). Sedangkan penggunaan al-amr untuk
menunjukkan makna yang lain adalah bersifat majazi, bukan hakiki.
Contoh Firman Allah SWT:
أَقِيْمُواالصَّلَوةَ
وَاَتُواالزَّكَوةَ
Artinya: “
Kerjakanlah Sholat dan tunaikanlah Zakat”
b.
Sisi syara’
Al-amr dari sisi haqiqah
syar’iyyah menunjukkan makna wajib, dan jika ada yang menyelisihinya, maka
ia berhak mendapatkan dosa dan sanksi.
Contoh yang lain adalah firman Allah SWT:
مَا مَنَعَكَ
أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
Artinya:
“Apakah yang mencegahmu untuk bersujud (kepada Adam) ketika Aku memerintahkanmu.”
(QS. Al-A’raaf :12)
Ayat tersebut bercerita tentang dialog dan kecaman
Allah ta’ala terhadap Iblis, yang tidak mau bersujud kepada Adam saat Allah
memerintahkannya. Allah ta’ala mengecam Iblis karena ia tidak mau mengikuti apa
yang diperintahkan kepadanya. Dan adanya kecaman, menunjukkan bahwa perintah
itu berimplikasi hukum wajib. Kecaman tidak diberikan kecuali kepada orang yang
meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang dilarang.
Dan masih banyak lagi nash lainnya yang menunjukkan
bahwa Allah ta’ala mengecam, sekaligus mengancam dengan sanksi pada siapa saja
yang tidak melaksanakan perintah-Nya. Ini semua menunjukkan bahwa secara
syar’i, perintah itu berimplikasi hukum wajib.
Ini merupakan madzhab Abu Hasyim, kebanyakan
mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan selain mereka, sekelompok orang dari
kalangan fuqaha, dan dinukil juga dari asy-Syafi’i, mengatakan hakikat Amr
adalah Mandub.
Contoh Al-amr bermakna Mandub. Misalnya
dalam firman Allah SWT:
فَكَاتِبُوْهُمْ
إِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا
Artinya: “Maka hendaklah kalian buat perjanjian
dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nuur:
33)
Contohnya, Rasulullah SAW bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ
عَلَى أُمَّتِي، لَأَمْرَتَهُمْ بِالشٍّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
Artinya: “Seandainya tidak membuat susah umatku,
sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali akan shalat.”
(Diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Ibn Majah
dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan juga oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan
Ibn Majah dari Zaid ibn Khalid. Takhrij hadits oleh Wahbah az-Zuhaili)
Lafazh ‘law la’ dalam hadits di atas menunjukkan
ketiadaan perintah karena adanya masyaqqah (kesulitan), sedangkan hukum mandub
dalam bersiwak tetap ada.
3. Al-amr menunjukan makna Musytarak
Golongan
ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb. Pendapat ini dipengaruhi
oleh Abu mansur al Maturidi, dinukil dari asy-Syafi’i.
4. Al-amr itu bermakna Tuntutan (ath-thalab).
Demikian
pula mereka sepakat bahwa bentuk amr secara hakikat digunakan untuk Thalab
(tuntutan). Namun, mereka berbeda pendapat mengenai Thalab ini. Apakah dengan
sendirinya menunjukan wajib ataukah diperlukan adanya Qarinah. Pendapat ini
dinisbahkan oleh al-Mahalli kepada Abu Manshur al-Maturidi dari kalangan
Hanafiyah.
Misalnya firman
Allah tabaraka wa ta’ala:
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا
Artinya: “Makanlah
dan minumlah kalian.” (QS. Al-Baqarah: 60)
Perintah makan
dan minum tidak bermakna wajib, melainkan mubah saja, dengan qarinah bahwa
ia merupakan kebiasaan dan tabiat manusia.
Misalnya
perintah Allah ta’ala untuk mencatat utang-piutang di ayat berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوْهُ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian berutang-piutang hingga waktu yang
ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah : 282)
Dan qarinah
yang menunjukkan bahwa perintah dalam ayat ini ‘hanya’ bermakna bimbingan atau
panduan (irsyad), dan tidak bermakna wajib adalah apa yang disebutkan di
ayat berikutnya (ayat 283), bahwa jika mereka saling percaya dan bisa menjaga
amanah, maka tidak apa-apa jika tidak mencatatnya.
4.
Keadaan Amr bila
tidak disertai Qarinah[12]
Makna hakiki Amr yang diperselisihkan diatas ialah
apabila amr itu tidak disertai suatu qarinah. Golongan zhahiriyah anatra lain
Ibnu Hazm berpendapat bahwa amr yang terdapat dalam alquran, sungguhpun
disertai qarinah tetap menunjukan wajib kecuali kalau ada nash lain atau ijma’
yang memalingkan pengertian amr dari wajib. Sedangkan jumhur ulama’ berpendapat
bahwa tidak adanya qarinah menunjukan wujub. Sebaliknya adanya suatu qarinah sudah cukup
dapat mengubah hakikat arti amr itu.
Dari kedua sikap ulama’ diatas ada dampak luas
pada penetapan hukum. Contoh yang dapat dikemukakan disini ialah masalah
pencatatan dan persaksian dalam utang piutang ini adalah wajib. Berdasarkan
ayat 282 , Al-baqarah. Bentuk amr pada ayat tersebut menunjukan wajib dan tidak
bisa menyimpang dari arti zhahir kecuali dengan nash atau ijma’.
Menurut jumhur ulama’ amr pada ayat tersebut adalah
nadb. Alasannya mayoritas kaum muslimin dalam melakukan jual beli yang tidak
kontan itu tidak dicatat dan dipersaksikan,. Oleh karena itu dipandang ijma’
dikalangan kaum muslimin bahwa amr pada ayat tersebut bukan untuk menunjukan
wujub.
Bagi ulama’ yang berpendapat bahwa amr itu pada
prinsipnya menunjukan wajib dan tidak bisa berubah kecuali ada qarinah, mereka
sendiri sebenarnya berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu yang dipandang
sebagai qarinah. Perbedaan tersebut otomatis berpengaruh pada penetapan hukum.
Misalnya, masalah mut’ah bagi wanita yang telah dicerai.
Menurut as-Syafi’iyah, hanafiyah, dan hanabilah,
mut’ah tersebut adalah wajib dengan mendasarkan pada Muthlaq amr. Demikian pula
menurut pendapat Ibnu umar dari kalangan sahabat, sa’id ibnu Al-Musayyab,
A’tai, dan Mujtahid dari kalangan tabi’in.
5.
Al- Amr setelah
adanya kejadian[13]
Para ulama’ telah sepakat tentang amr terhadap sesuatu dari
apa yang tidak ada sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum amr
yang ada setelah adanya larangan atau setelah timbulnya kejadian. Dalam hal itu
para ulama’ terbagi pada tiga golongan:
a.
Menunjukan Mubah, karena
amr yang belum ada sebelumnya secara bahasa juga menunjukan wajib. Namun jika
adanya setelah kejadian maka dianggap qarinah yang menunjukan Mubah, kecuali
kalau ada dalil yang menunjukan wajib. Alasannya karena para ulama’ ushul telah
memakainya untuk arti Mubah. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan.
b.
Menunjukan wajib, karena
suatu kalimat yang menggunakan kata amr itu yang berkaitan dalam rangka
menetapkan hukum Syara’ atau amr yang ada setelah adanya larangan.
c.
Perintah setelah adanya
kejadian telah menghilangkan kejadian tersebut. Adapun hukumnya bergantung pada
Ashl sebelum adanya kejadian, apakah wajib, sunnah, atau mubah.
Pendapat yang terakhir dianggap paling kuat karena
disebutkan dalam Alquran diantaranya firman Allah SWT surat At-Taubah ayat 5:
فَاِذَا انْسَلَخَ
الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ
Artinya: “Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin dimana saja kamu
jumpai mereka dan tangkaplah mereka”. (Q.s At-taubah: 5)
Dalam ayat tersebut, diharamkan berperang pada bulan
haram, namun, setelah itu ada perintah untuk berperang, maka kembalilah hukum
asal perang tersebut yaitu menunjukan wajib.
[14]
B.
Lafadz An-Nahyi
1.
Pengertian An-Nahyi
و النّهي استدعاء التّرك بالقول ممّن هو دونه على سبيل الوجوب ويدل
على فساد المنهي عنه
Nahyi (larangan) adalah permintaan untuk meninggalkan
sesuatu melalui ucapan terhadap orang yang dibawahnya secara wajib Menurut
Ulama’ Ushul derfinisi nahyi adalah kebalikan dari Amr, yakni Lafad yang
menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan)
dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama’ ushul sepakat bahwa Nahyi itu
seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti. [15]
2. Makna-makna yang terkandung
dalam Nahi [16]
Seperti yang disebutkan oleh
Ghazali dan al Amidi, ada enam makna yang terkandung dalam nahi
(larangan).
1.
Haram, Dan Pada
dasarnya suatu larangan menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu haram untuk
dikerjakan, seperti larangan yang terdapat dalam firman Allah;
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (Q.S. An-Nisa’ : 29)
Kalimat yang digunakan untuk melarang adalah; لا تفعل
(jangan lakukan). Semua ulama’ sepakat bahwa larangan bunuh diri pada ayat
diatas menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan sesuatu yang haram untuk
dilakukan.
2.
Makruh, suatu larangan
terkadang juga menunjukkan hukum makruh, seperti larangan yang terdapat dalam
hadits;
contohnya firman Allah
swt:
"لا
يمسك أحدكم ذكره بيمينه وهو يبول"
artinya: “janganlah salah seorang diantara kamu
memengah kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air
kecil (istinja’)”
نَهَى رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melarang
laki-laki kencing dalam keadaan berdiri” (Sunan Baihaqi, no.496)
Mayoritas ulama’ menyatakan bahwa larangan kencing
sambil berdiri dalam hadits diatas diarahkan pada hukum makruh, bukan haram,
sebab dalam satu hadits diriwayatkan:
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا
“Dari Hudzaifah dia berkata, "Aku pernah berjalan bersama Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri” (Shohih Muslim, no.273) Karena itulah ditetapkan bahwa hukum kencing sambil berdiri adalah makruh
عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا
“Dari Hudzaifah dia berkata, "Aku pernah berjalan bersama Nabi shollallohu 'alaihi wasallam, saat kami sampai di suatu tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri” (Shohih Muslim, no.273) Karena itulah ditetapkan bahwa hukum kencing sambil berdiri adalah makruh
3.
Doa,
contohnya firman Allah swt: artinya : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami”. (QS. 3:8)
4.
Petunjuk,
contohnya firman Allah swt:
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu”. (QS. 5:101)
5.
Penghinaan,
contohnya firman Allah swt: artinya: “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu
kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka”. (QS. 20:131)
6.
Balasan
perbuatan, contohnya firman Allah swt: artinya: “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad)
mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim”. (QS. 14:42)
7.
Putus asa,
contohnya firman Allah swt:
artinya: “janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hana diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”. (QS.
66:7)
Mengenai sighat dan
makna yang digunakan pada larangan (nahi) ini, pada dasarnya memiliki
dua konsekwensi hukum ; Haram atau Makruh. Sama halnya dengan perintah (amar)
yang memiliki konsekwensi hukum ; Wajib dan sunnah. Biasanya sebuah larangan
yang disertai dengan sebuah indikasi (qarinah) maka hukumnya digolongkan
ke dalam haram. Sedangkan larangan yang tidak disertai dengan indikasi
tertentu, maka hukumnya digolongkan pada makruh. Ini bisa dilihat dari Firman
Allah swt QS Al Maidah: 87 yang berbunyi ; Artinya: “ Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu”,. (QS. 5:87). Pengharaman di sini
maknanya adalah makruh, karena mengkonsumsi hal-hal yang baik adalah mubah.
Kemudian apakah sebuah
larangan menuntut pengulangan (tikrar) dan penyegeraan (faur),
dalam hal ini ulama berbeda pendapat; pertama; ada yang mengatakan bahwa larangan itu tidak menunjukkan atas
pengulangan dan penyegeraan. Ini diwakili oleh ar Razi dan al Baidhawi dari
golongan ulama Syafii. Kedua; ada yang mengatakan bahwa sebuah larangan
menunjukkan atas pengulangan dan penyegeraan. Ini diwakili oleh al Amidi, Ibnu
Hajib dan al Qarafi.
Dan pendapat yang paling rajih
(kuat) adalah pendapat ke dua. Karena sebuah larangan menuntut adanya
penyegeraan dan pengulangan. Sebab, jika Allah melarang suatu maka itu artinya
bahwa seorang mukallaf tidak diperkenankan untuk mengerjakannya sampai kapanpun
dan harus segera meninggalkannya dengan segera.
Adapun efek hukum yang
ditimbulkan dari larangan ini, bisa membuat pekerjaan tersebut menjadi fasad
dan bisa menjadi batal. Fasad berarti pekerjaan yang semula sah, kemudian
menjadi tidak sah dan harus dihentikan, jika diteruskan maka pekerjaan tersebut
tidak terhitung, terutama dalam mua’malah, maka seluruh pemindahan hak yang ada
menjadi tidak sah. Contoh yang fasad ini adalah jual beli yang dilakukan oleh
salah seorang ‘aqidain (penjual atau pembeli) adalah anak-anak. Maka
jual belinya tidak sah (fasad).
Adapun sebuah perbuatan
menjadi batal, jika perbuatan tersebut tidak memenuhi ‘persyaratan dari awal,
atau antara syarat yang ada tidak terpenuhi, maka ini adalah batal. Contohnya
jual beli yang tidak ada barangnya.
BAB
III
KESIMPULAN
Pengertian Amr menurut bahasa adalah Suruhan, perintah atau tuntutan.
Sedangkan menurut istilah adalah tuntutan berbuat sesuatu dari atasan kepada
bahawan. Dari pengertian tersebut menunjukan bahwa bentuk Amr mengacu pada
hukum wajibnya mengerjakan sesuatu, kecuali adanya Qarinah. Jika tidak terdapat
alasan maka bentuk perintah menghendaki kewajiban. Bentuk perintah menurut
bahasa tidak menunjukan lebih dari tuntutan mewujudkan sesuatu yang diperintah,
tidak menunjukan tuntutan mengulangi perbuatan yang diperintahkan, juga tidak
menunjukan kewajiban berbuat dengan seketika. Bentuk Amr dan Hakikatnya adalah:
Amr dapat bermakna Wajib, contohnya Perintah mengerjakan Shalat dan Zakat , Amr
dapat bermakna Mandub, contohnya perintah untuk bersiwak sebelum shalat, Amr
dapat bermakna Mubah, contohnya diperintahkan (diperbolehkan) untuk makan dan
minum, Amr dapat bermakna Irsyad (tuntutan), contohnya masalah muamalah (hutang
piutang), orang bermuamalah haruslah mencatat atau menulisnya namun, jika salah
satu dapat menjaga amanahnya maka tidak dicatatpun tidak menjadi masalah. Ini
menunjukan bahwa adanya Qarinah itu dapat mengganti makna Amr yang Asli.
Nahyi (larangan) adalah permintaan
untuk meninggalkan sesuatu melalui ucapan terhadap orang yang dibawahnya secara
wajib Menurut Ulama’ Ushul definisi nahyi adalah kebalikan dari Amr,
yakni Lafad yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang
mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama’ ushul sepakat
bahwa Nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
Makna-makna yang terkandung dalam Nahyi: Haram, Dan Pada
dasarnya suatu larangan menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu haram untuk
dikerjakan, Bermakna Makruh, Do’a, Petunjuk, Balasan Perbuatan, Penghinaan,
Putus Asa.
[1]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), 173.
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 200.
[3]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam),
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 286.
[4]
Ibid., 287.
[5]
Nazar, Fiqh, 174.
[6]
Ibid., 175-177.
[7]
Rachmat, Ilmu Ushul, 201.
[8]
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al- Islami
[9]
Nazar, Fiqh, 174.
[10]
A. Wahhab, Ilmu Ushul, 287
[11]
Ibid., 288
[12]
Rachmat, Ilmu Ushul, 202.
[13]
Nazar, Fiqh, 176.
[14]
Ibid., 175.
[15]
Rahmat, Ilmu ushul, 207
[16]
Ibid., 209
0 komentar:
Posting Komentar