Pantai Kondang Merak.. Bolang itu Subhanallah

























Hukum Islam



Hukum Islam pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
MAKALAH
Diajukan untukMemenuhiTugas Mata Kuliah
Hikmah dan Tarikh Tasyri’

Description: E:\Tugas\logo baru UIN SA_1.jpg

DosenPembimbing :

Yahya Aziz, M.Pd.I
197208291999031003


Oleh :
Rif’atul Khoriyah                             (D91213164)
Eva Mawaddatus S.                          (D71213093)
Muh.Nur Hakim                               (D01212046)


POGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPELSURABAYA
2015
            Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan maksimal. Makalah yang kami susun berjudul “Hukum Islam pada Periode Khulafa’ Ar-Rasyidin”. Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah Hikmah dan Tarikh Tasyri’.
            Saya sebagai penulis makalah sangat berterima kasih kepada Bapak Yahya Aziz, M.Pd.i yang telah membimbing dalam proses pembelajaran di perkuliahan.
            Besar harapan kami selaku penyusun agar makalah ini dapat memberikan banyak manfaat kepada berbagai pihak. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari semua pihak karena kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.

Surabaya, 20 Oktober 2015


Penyusun












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
IDENTITAS....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang....................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.  Tujuan..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.  Faktor yang mempengaruhi terbentuknya Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin            2
B.  Sumber Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin....................... 7
C.  Kedudukan Ijtihad pada Periode ini.................................................... 11
D.  Karakteristik Hukum Islam pada periode Khulafa’ Ar-Rasyidin......... 13
E.   Prinsip-Prinsip Pengambilan Hukum Pada Periode
Khulafa’al-Rasydin.............................................................................. 15
F.   Contoh Ijtihad Pada Periode Khulafa’Al-Rasyidin............................. 16
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... iii












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,  Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 1991.

http://kafeilmu.com/tema/hikmah-perkembangan-islam-di-indonesia.html amifta45.blogspot.com/.../proses-penyebaran-islam-di-indonesia
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam Dan Politik Indonesia, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965),  Yogyakarta,  IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

Ramulya, Idris,. Asas-asasHukum Islam.. Jakarta: SinarGrafika. 2004.
Siddiqi, Nourouzzaman,  Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis, Yogyakarta, PLP2M, 1984.

Sunanto, Musyrifah,  Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta, Rajawali pers, 2010.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Islam semakin berkembang seiring berkembangnya zaman, begitupula mengenai sumber-sumber pedoman bagi umat islam, memang sumber utama umat islam adalah Alquran dan As-Sunnah, namun karena banyaknya persoalan yang muncul dikemudian hari akhirnya muncullah sumber hukum islam yang ketiga yaitu Ijma’. Ijma’ dihasilkan dari ijtihad dan ra’yu. Para sahabat jikalau tidak menemukan penyeelesaian masalah yang tidak terdapat dalam Alquran maka beliau mencarinya dalam As-sunnah dan jika tidak menemukan permasalahannya maka beliau berijtihad kemudian mengumpulkan para Sahabat untuk mendapat kesepakatan. Orang-orang yang melakukan Ijtihad disebut Para Mujtahid. Dan para mujtahid tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kesesatan sehingga, Ijtihad ini diperbolehkan asalkan tidak menyimpang dari Alquran dan As-Sunnah.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa Faktor yang mempengaruhi terbentuknya Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin?
2.      Apa saja Sumber Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin?
3.      Bagiamana kedudukan Ijtihad pada periode Khulafa’ Ar-rasyidin?
4.      Apa saja Karakteritik Hukum Islam pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin?
5.      Bagaimana prinsip pengambilan hukum Masa Khulafa’Ar-Rasyidin ?
6.      Apa saja contoh ijtihad pada Masa khulafa’Al-Rasyidin ?
3.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahuiterbentuknya Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
2.      Untuk mengetahui Sumber Hukum Islam pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
3.      Untuk mengetahui kedudukan Ijtihad pada periode Khulafa’ Ar-rasyidin
4.      Untuk mengetahui Karakteritik Hukum Islam pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin.
5.      Untuk mengetahuiprinsip pengambilan hukum Masa Khulafa’Ar-Rasyidin.
6.      Untuk mengetahuicontoh ijtihad pada Masa khulafa’Al-Rasyidin


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Hukum Islam pada Masa Khulafa’al-Rasyidin
Setelah Nabi Muhammad Wafat, sahabat sebagai Generasi Islam pertama, Meneruskan ajaran dan Misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad saw merupakan peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebelum jenazah Nabi Muhammad saw dimakamkan, sahabat telah berusaha memilih pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin Agama dan Negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi Pengganti Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar digantikan oleh Khalifah Umar ‘ibn Khattab, Khalifah Umar bin Khattab digantikan oleh Utsman bin Affan, Khalifah Utsman bin Affan digantikan oleh Ali bin Khattab. Empat pemimpin umat diatas dikenal dengan sebutan al- Khulafa al-Rasyidin (Para Pemimpin yang diridai).[1]
Para Sahabat, khususnya periode ini, memberikan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama Islam. Mereka tidak sekedar melestarikan tradisi atau melanjutkan estafet kebiasaan Nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir.[2] Ini untuk pertama kalinya fiqih berhadapan dengan persoalan baru seperti dalam penyelesaian atas masalah moral, etika,kultur dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik. Inilah faktor yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang dibuka dan diislamkan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang mengakibatkan para sahabat memberikan hukum pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan atau setelah wafatnya Rasul.[3]
Perkembangan yang baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah Islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqihiyah. Saat itu mulai muncul terjadinya perbedaan pemahaman terhadap nash, sebagaimana perbedaan itu juga muncul karena perbedaan persepsi dan pendapat. Dan konsekuensi dari perluasan wilayah dakwah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagaimana mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini adalah sebuah perkembangan yang belum muncul di jaman Rasul sehingga di butuhkan suatu aturan yang baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan Non Muslim.
Persoalan penting yang dihadapi oleh para Sahabat adalah:[4]
a.       Sahabat khawatir akan kehilangan Alqur’an karena banyaknya sahabat yang hafal Alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b.      Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Alqur’an akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c.       Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasulullah Saw.
d.      Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam.

Dalam menghadapi kekhawatiran ini maka sahabat Abu Bakar atas usul Umar mengumpulkan Alqur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu Hafalan dan catatan. Umar mengusulkan pembukuan Alqur’an karena umat islam yang hafal Alqur’an banyak yang meninggal dalam perang yamamah. Pada awalnya, Abu Bakar menolak usulan tersebut, karena Rasul tidak memerintahkannya dan tidak menolaknya. Akhirnya Alqur’an disusun berdasarkan bahan-bahan yang ada. Sahabat paling intens keterlibatannya dalam penulisan adalah Zaid bin Tsabit karena beliau adalah Sekertaris Nabi Muhammad.[5]
Himpunan Alqur’an yang pertama ini mula-mula disimpan di rumah Abu Bakar, kemudian diserahkan pemeliharaannyakepada Umarbin Khattab, selanjutnya dialihkan kepada Hafsah binti Umar. Masalah lain yang dihadapi kaum muslimin periode sahabat dibawah kepemimpinan Abu  Bakar, antara lain orang-orang yang mengaku beragama Islam tidak mau membayar zakat, padahal hukum zakat adalah wajib bagi orang islam yang lima mulai diwajibkan di Madinah pada  bulan Syawal tahun kedua Hijriyah. Alqur’an telah menetapkan kewajiban menunaikan zakat bagi orang yang islam, namun kenyataan di masyarakat banyak yang tidak melaksanakan perintah ini, Abu bakar berpendapat bahwa orang-orang islam yang tidak menunaikan zakat harus diperangi sampai mereka melaksanakan kewajiban membayar zakat. Dalil yang dipergunakan Abu Bakar ialah :
pertama Alqur’an telah menetapkan perintah salat dan zakat kepada orang islam.Firman Allah Q.s Al-Baqarah Ayat: 43
أَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَاَتُواالزَّكَوةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّكِعِيْنَ       
Artinya: “ Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
kedua Allah menetapkan perintah shalat dan zakat secara beriringan. Ketiga, orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat akan mendapatkan siksa di dunia dan di akhirat. Firman Allah Q.s At-Taubah ayat: 34[6]
يا ايها الذين ءامنواانّ كثيرا مّن الاحبار والرّهبان ليأكلون اموال النّاسبالباطل ويصدّون عن سبيل الله والّذين يكنزون الذّهب والفضّة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم بعذاب اليم
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah pada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang amat pedih.”
Setelah Abu Bakar Wafat pada hari senin 23 Agustus 624 Masehi jabatan Khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Permasalahan hukum saat itu semakin banyak, sehingga ijtihad pada masa ini tidak hanya menggunakan metode qiyas untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada Nashnya dalam Alqur’an dan As-Sunnah. Beberapa contoh penetapan hukum berdasarkan pertimbangan kemashlahatan pada masa ini yaitu: Umar bin khattab pernah tidak menerapkan secara ketat mengenai pembagian harta perang, sebagaimana bunyi ayat yang tertulis dalam Alqur’anFirman Allah Qs Al-Anfal ayat: 41
واعلموا انّما غنمتم مّن شيئ فانّ للّه خمسه وللرّسول ولذ القربى واليتمى والمسكين وابن السّبيل
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai harta rampasan perang, maka sesunguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak yatin, orang-orang miskin dan ibnus sabil.”
Utsman, Ali Muadz bin jabal dan Thalhah setuju dengan pendapat Umar bin Khattab, sedangkan Abdur Rahman bin Auf, Ammar bin Yasir dan Bilal bin Rabah menolak pendapat itu. terutama Bilal bin Rabah yang menentang dengan keras.[7]
Tuntutan Bilal bin Rabah dan beberapa sahabat lain memang cukup beralasan. Minimal, karena memang demikianlah yang dipraktekkan oleh Nabi, selama 3 hari umar bin khattab tidak keluar dari rumahnya untuk memikirkan tuntutan Bilal dan sahabat lain yang tidak setuju pendapatnyasetelah Umar bin Khattab mengkaji ayat-ayat alqur’an dan beristikharah minta petunjuk Allah, akhirnya umar menemukan empat ayat dalam alquran yaitu dalam surat Al-Hasyr Ayat: 6,7,8,10.
Setelah umar bin Khattab wafat Tonggak kepemimpinan beralih kepada Khalifah Utsman bin Affan, baru saja menerima jabatan beliau menerima laporan bahwa terdapat berbagai macam bacaan dan versi Alqur’an yang telah beredar diberbagai daerah. Bukhori meriwayatkan dari Aus bahwa Hudzaifah bin Yaman menghadap Utsman bin Affan ia bercerita bahwa ia terkejut melihat huruf-huruf atau bacaan Alqur’an yang berbeda didaerah tersebut, beliau meminta Utsman untuk memberi pengertian pada umat, sebelum mereka berselisih seperti perselisihan antara Yahudi dan Nasrani, permohonan Hudzaifah dikabulkan oleh Utsmandengan mengirim utusan untuk meminjam lembaran-lembaran Alqur’an pada Hafsah binti Umar. Setelah itu Utsman menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits, untuk menyalinnya kedalam beberapa mushaf. Kemudian setelah selesai Utsman mengirimkan hasil kerja panitia keseluruh wilayah. Sedangkan mushaf lainnya yang tidak berguna dibakar.[8]
Setelah Khalifah Utsman wafat, kepemimpinan umat islam beralih ke tangan Ali bin abi Thalib, baru saja menduduki jabatan beliau dituntut untuk mengatasi pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair. Setelah pemberontakan selesai, disusul pemberontakan berikutnya yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Meskipun stabilitas keamanan terganggu karena banyaknya pemberontakan, namun Beliau sempat melahirkan karya intelektual. Menurut ahli Biografi, Ali adalah orang pertama dalam sejarah islam yang menulis beberapa karangan. Ali bin Abi thalib adalah sahabat Nabi yang konsisten memegang teguh sunnah Rasul. Sebagai contoh beliau menghukum Dera peminum khamr dengan sebanyak 80 kali, sebagaimana Rasul juga dahulu menghukum Dera peminum Khamr sebanyak 80 kali. Ketika Umar menetapkan hukum rajam bagi pelaku zina, ali membebaskan hukum itu sebab berdasar pada Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Pernyataan Ali bahwa tidak akan meninggalkan Sunnah Nabi hanya karena ra’yu benar-benar dipraktekan saat beliau menjadi Khalifah.[9]
B.     Sumber Hukum Islam pada Masa Khulafaur ‘al-Rasyidin.
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat islam dan mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan Nashnya dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh sebab itu sahabat dituntut untuk mengeluarkan hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehingga produk yang ditetapkan tidak kontradiktif.
Perbedaan pendapat telah ada sejak zaman sahabat Nabi saw. Sahabat berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari kekeliruan.
Setelah nabi saw wafat timbul 2 pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum. Kelompok pertama mengatakan bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan Alquran setelah Nabi wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Sedangkan menurut kelompok kedua, sebelum meninggal, Nabi tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah, Alqur’an dan As-sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai Kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni. [10]
Selain itu sebab Ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga: Pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alqur’an. Kedua, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah. Ketiga perbedaan pendapat dalam penggunaan ra’yu. [11]
Setiap ada persoalan yang baru para fuqaha kembali pada Al-Qur’an sebagai dasar agama, kemudian merujuk pada Sunnah Nabi. Jika dari kedua warisan itu tidak di temukan ketentuan hukumnya, maka mereka berkumpul bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijma’.
Cara seperti inilah  yang banyak digunakan pada Masa Khulafaur-Rasyidin dalam menentukan hukum. Suatu ketika khalifah Umar bin Khatab mengirim surat kepada salah satu seorang hakim bernama Syuriah : “jika kamu temukan dalam Al-Qur’an, putuskanlah dengannya, jangan menoleh pada lainnya. Jika kamu berhadapan dengan apa yang tidak ada dalam Al-Qur’an  maka putuskanlah dengan Sunnah Nabi. Dan jika dari kedua warisan itu tidak di temukan, putuskanlah dengan apa yang telah menjadi keputusan orang (ijma.)”. tetapi jika tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak ada seorang pun yang memutuskan sebelum kamu, kamu boleh memilih antara berijtihad.[12]
Dari maimun bin Mihran ia berkata jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab Allah. Jika ia temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka ia akan memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam kitab Allah dan ia tahu ada Sunnah dari Rasulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan dengannya. Kemudian jika tidak ada Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin dan berkata “Ada yang datang begini dan begitu apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu kepada mereka? Jika ia tidak menemukannya dalam sunnah Rasulullah maka ia akan mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan bermusyawarah dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu bakar sudah menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusannya. Begitu pula dengan Umar, dari sini jelaslah bagi kita bahwa sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah: Alqur’an, As-Sunnah, Ijma’ Logika (Ra’yi).[13]
Karena itu selain AlQuran dan Sunnah, ijtihad juga merupakan sumber fiqih yang menjadi rujukan para fuqoha.
Sikap para sahabat terhadap sumber Tasyri’ pada masa itu, [14]
a.       Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat nabi muhammad dalam satu zaman tentang satu masalah syariat.
Ijma’ harus berasal dari semua mujtahid, sehingga kesepakatan sebagian ulama’ saja tidak dianggap ijma’. Selain itu, kata zaman berarti bahwa kesepakatan yang melahirkan ijma’ adalah kesepakatan setiap mujtahid yang ada pada suatu zaman tertentu dan tidak disyaratkan harus kesepakatan semua mujtahid sepanjang zaman sebab hal ini tidak mungkin terjadi.
Para ulama’ berdalil atas keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum antara lain dengan firman Allah: (Qs. An-Nisa’: 115).
ومن يشاقق الرّسول من بعد ما تبين له الهدى ويتّبع غير سبيل المؤمنين نولّه ما تولّى ونصله  جهنّم وساءت مصيرا
Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa dengan kesesatan yang telah dikuasainya dan akmi amsukan ia kedalam jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk temapt kembali.”
Mereka juga berdalil dengan sabda Rasulullah umatku tidak akan bersepakat terhadap kesalahan, dan sabda Rasulullah apa yang dilihat oleh kaum muslimin baik maka ia adalah baik. Dalam hadits ini Rosulullah menafikan kesalahan dari umatnya dan bahwasanya umat islam tidak akan sepakat untuk melakukan kesesatan.
Para sahabat biasanya tidak mengikat dirinya dengan hasil ijma’ kecuali jika ijma’ itu lahir dari semua orang yang memang diperhitungkan pendapatnya. Sedangkan ketika berbeda pendapat mereka tidak memaksakan diri harus mengambil pendapat mayoritas dan tidak pula menguatkan pendapat satu pihak apapun status dan kedudukan mereka dan meninggalkan pendapat kelompok  yang lain, kecuali jika menurut merekadalilnya kuat.
Yang pasti, ijma’ merupakan sumber hukum bagi produk-produk fiqh, walaupun tidak bisa maksimal karena kondisi para mujtahid juga sangat terbatas.
b.      Ra’yi (pendapat pribadi)[15]
Ra’yi ijtihad adalah mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash dari Alqur’an atau sunnah atau dalil aqli berupa qiyas maslahat mursalah, adat istiadat (‘urf), atau berupa hal yang darurat.
Manhaj para sahabat dalam menggunakan ra’yi adalah berpegang teguh pada kebenaran dimanapun ia berada, mayoritas mereka akan memakai pendapat orang lain dan meninggalkan pendapatnya sendiri jika kebenaran ada pada pendapat orang lain. Umar pernah meninggalkan  pendapatmya sendiri ketika melarang mahar yang terlalu tinggi ketika seorang wanita berkata kepadanya, “Bukankah Allah telah memberi kami (mahar yang banyak) dengan firman Allah : sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak dan kita dilarang oleh ucapan Umar, lalu umar berkata “wanita itu benar dan umar salah.”
Umar juga pernah mengambil pendapat Ali bin abi Thalib tentang meng-qishah orang banyak karena membunuh satu orang. Pada mulanya ia ragu, namun ketika Ali berkata kepadanya “bagaimana pendapatmu jika satu kaum bersama-sama mencuri seekor unta, salah seorangnya mengambil satu potong, dan yang lain mengambil satu potongan, apakah kamu akan memotong tangan mereka? Umar menjawab”Tentu” Ali berkata: demikian juga dengan mereka.
Semua yang mereka cari adalah kebenaran dimanapun ia berada dan tidak ada satu orangpun akan kecewa atau bersedih hati seandainyakebenaran itu ada pada pihak lain dan mereka juga berlomba-lomba untuk mengorbankan jiwa dan raganya dalam berijtihad dijalan Allah, termasuk juga mereka berlomba dalam mencurahkan segala potensi yang dimiliki untuk mencapai ijtihad yang sempurna.
Demikian dengan Khulafa’ur Rasyidin mereka tidak memberi fatwa terhadap masalah yang tidak ada nash-nya kecuali setelah disampaikan kepada para ahli ilmu dan ra’yi dari kalangan sahabat, masing-masing memiliki orang-orang khusus untuk dimintakan pendapatnya dalam masalah-maslah seperti ini dan yang lainya, termasuk masalah politik dan pemerintahan. Bahkan mereka mengumpulkan para hakim yang terdiri dari ahli ilmu untuk diajak musyawarah memutuskan masalah yang ada yang tidak ada dalam Alquran dan Sunnah. [16]
Adapun dasar Argumentasi yang menjadikan Ijtihad Sahabat merupakan bagian dari sumber hukum adalah:[17]
1.      Mereka ikut menyaksikan tindakan dan sikap Rosulullah ketika mempergunakan kekuatan ijtihadnya disaat wahyu tidak turun kepadanya pada saat ada problematika yang muncul dikalangan umat silam
2.      Apa yang telah terjadi ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi qadhi negeri yaman. Terjadi dialog antara rasul dengan Muadz bin Jabal.
3.      Bahwa mereka memahami berdasarkan adanya penyebutan illat pada sebagian ayat-ayat hukum dalam alqur’an dan sunnah sehingga dengan konteks demikian, mereka memahami bahwa tujuan penetapan hukum dalam alqur’an dan sunnah adalah untuk merealisir kemaslahatan ummat.

C.    Kedudukan Ijtihad pada Periode ini.
Selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad mulai menjadi rujukan fuqaha pada periode ini. Jika kita menelusuri lebih jauh lagi kebutuhan untuk melakukan ijtihad itu tidak semata-mata untuk menjawab masalah baru yang muncul, namun juga untuk memahami nash yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Contoh ijtihad pada masa periode ini mengenai tentang ‘Iddah wanita yang di talak suaminya. Kapan iddah (waktu menunggu dimana seorang wanita tidak boleh menikah) wanita yang di talak suaminya akan berakhir ?Menurut  Ibnu Mas’ud dan Umar bin Khatab , ‘iddahnyaberakhir ketika ia mandi dari haidl yang ketiga sesudah talak. Pendapat Zaid bin Tsabit lain. Menurut Zaid, wanita itu boleh menikah setelah memasuki haid ketiga.Apabila di telesuri ikhtilaf ini merujuk pada pngertian quru’ dalam firman-Nya : “Perempuan-perempuan yang di talak menunggu tiga kali quru’”. Ibnu Mas’ud dan Umar berpendapat quru’berarti haid, karenannya ‘iddah wanita berakhir ketika haid yang ketiga. Zaid menafsirkan quru’ dengan bersih yang berarti bahwa ‘iddah nya berarti ‘iddahnyaberakhir ketika memasuki haidl yang ketiga.[18]
Para sahabat berijtihad sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Bakat dan kemampuan para sahabat terasah dengan cara berdialog dengan Rasulullah, serta menyaksikan metode yang diterapkan Rasulullah dalam hukum dan berijtihad. Para sahabat juga berpegang kepada rahasia-rahasia hukum (asrar al-Tasyri’) serta prinsip-prinsip hukum yang umum. Para sahabat pada prinsipnya mencoba mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Dengan demikian, gelanggang ijtihad para sahabat sangatlah luas dan menampung segala hajat hidup manusia serta kemaslahatannya.[19]
Diwaktu itu telah banyak bangsa dan negara yang memeluk islam, dan letaknya (kadang) saling berjauhan. Untuk itu kemerdekaan berijtihad merupakan syarat mutlak untuk memunculkan undang-undang dan peraturan bagi segala bentuk muamalat dan kebutuhan hidup umat manusia.
Kadang ada sahabat yang melontarkan pendapat karena pernah melihat Rasulullah menyelesaikan masalah dengan berijtihad. Kemudian berkatalah Abu Bakar. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sebagai pemelihara Sunnah Nabi. Bila Abu Bakar menemui kesulitan untuk menafsirkan Sunnah Rasulullah, maka beliau mengumpulkan para pemuka umat dan orang-orang pilihan. Bila ada kesepakatan tentang suatu perkara dari kesemuanya, maka Abu Bakar memutuskan perkara memakai Ijma’, yakni kesepakatan dan keputusan bersama para pemuka umat dan orang-orang terpilih.
Umar bin khattab juga merujuk kepada para pendahulunya. Bila menghadapi kesulitan mendapat hukum didalam Alqur’an dan Al-Sunnah, maka ia mencoba merujuk pada Abu Bakar. Jika ia dapati abu bakar pernah menghukumi hal dimaksud, maka diapun mengikuti jejak Abu Bakar. Dan bila tidak ditemui pada file Abu Bakar, maka Umar mengumpulkan para pemuka umat islam untuk mencari kesepakatan dan hukum tentang suatu Ijma’.
Dengan adanya kesepakatan pendapat (ijma’) ini, maka perselisihan pendapat jarang terjadi, karena masing-masing dari para pemuka tasyri’ yang berkumpul itu saling mengemukakan pendapat secara jujur dan argumentatif. Hukum-hukum yang telah disepakati oleh para sahabat kemudian disyariatkan dalam periode sahabat.[20]

D.    Karakteristik Hukum Islam Pada Periode Khulafa’al-Rasyidin
Hukum Islam Pada Periode Khulafa’al-Rasyidinmemiliki karakteristik dan keistimewaan sebagai berikut :[21]
1.       Fiqh pada zaman ini sangat sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul, tidak hanya terbatas pada apa yang pernah terjadi pada masa kerasulan. Selain itu juga yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam berbagai permasalahan dalam khalifah.Namun, karena kesibukan mereka terkait masalah politik dan pengelolahan negara, membuat mereka tidak dapat lagi menjalankan tugas ini dengan baik sehingga akhirnya diserahkan kepada sahabat lain.
2.      Al Qur’an telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengan itu muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama syariat Islamyang sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3.      Hadits belum diriwayatkan seperti zaman sekarang, kecuali jika ada keperluan mendesakseperti ingin mengetahui tentang hukum suatu masalah. Sunnah pada zaman ini masih murni, belum terkontaminasi kebohongan atau penyimpangan.
4.      Muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu Ijma’ dan itu sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan.
5.      Pada zaman ini terjadi banyak ijtihad yang berlandaskan pada pemahaman tentang illat hukum baik ada atau tidaknya. Hal tersebut sudah tentu berpengaruh dimana sebagian hukum yang pernah diamalkan pada masa Rasulullah tidak dipergunakan lagi pada masa ini, seperti kesepakatan menggugurkan hak seorang muallaf dari zakat pada masa Abu bakar.
6.      Para sahabat hanya mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.
7.      Kelonggaran dalam memakai pendapat pribadi yang dimotori oleh Umar Bin Khattab, dan Ali Bin Abi Thalib dan Abdullah biun Mas’ud. Akan tetapi sebagian lagi ada yang sangat berhati-hati untuk mengambil pendapat pribadi, khawatir berdusta kepada Allah yang dimotori oleh Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit. [22]

E.     Prinsip pengambilan Hukum Pada Masa Khulafa’Al-Rasyidin
Disini ada 4 prinsip yang di pegang oleh khulafa’al-rasyidin dalam mengambil hukum agar tidak terjadi kerancuan dalam pengambilan hukum. Prinsip-prinsip itu, yaitu :
1.      Musyawarah
2.      Jabatan itu amanah dari Allah, jadi para khulafa’al-rasyidin selalu berusaha dalam menjalankan amanah itu baik dari segi agama,segi pemerintahan dll. Maka dari itu jika ada masalah para khulafa’al-rasyidin selalu mengambil hukum yang terbaik dengan jalan pendekatan-pemdekatan spiritual agar hukum yang diambil dapat ridho dari Allah
3.      Menggunakan prinsip baiad
4.      Sistem berjama’ah atau berkelompok untuk menunjuk seorang yang dipilih.

F.     Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu Bakar  adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. sebelum masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang memeluk agama islam dan kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan kerena hubungannya yang ssangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa pertama tepat sekali.
a)      Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:
1)      Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi:
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah. Sebab menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya beliau berkata, “Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”[23]
Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga negara.
Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu dalam wakyu tuhan tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu.[50] Dalam masa abu bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat
Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris nabi Muhammad.[24]Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Alquran  itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan sesudah Khalifah Umar meninggal pula, naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafshah, janda nabi Muhammad.

b)     Tindakan Hukum-hukum dan perbuatan khalifah Abu Bakar
1)      Khalifah Abu Bakar telah menghentikan pemberian khums kepada keluarga Rasulullah SAW. Ijttihadnya itu adalah bertentangan dengan Surah al-Anfal (8):41 “ Ketahuilah,apa yang kamu perolehi seperlima adalah untuk Allah,Rasul-Nya,Kerabat,anak-anak yatim,orang miskin,dan orang musafir” dan berlawanan dengan Sunnah Rasulullah SAW yang memberi khums kepada keluarganya menurut ayat tersebut.
2)      Khalifah Abu Bakar telah membakar Fuja’ah al-Silmi hidup-hidup, kemudian dia menyesali perbuatannya. Dan ianya bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW”Tidak boleh disiksa dengan api melainkan dari Tuannya.”
3)      Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan hukum had ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya. Umar dan Ali AS mahu supaya Khalid dihukum rejam
4)      Khalifah Abu Bakar telah melarang orang ramai dari menulis dan meriwayatkan Sunnah Nabi SAW. Dia berucap kepada orang ramai selepas kewafatan Nabi SAW,”Kalian meriwayatkan daripada Rasulullah SAW hadith-hadith di mana kalian berselisih faham mengenainya. Orang ramai selepas kalian akan berselisih faham lebih kuat lagi. Justeru itu janganlah kalian meriwayatkan sesuatupun (syaian) daripada Rasulullah SAW. Dan sesiapa yang bertanya kepada kalian, maka katakanlah:Bainana wa bainakum kitabullah (Kitab Allah di hadapan kita). Maka hukumlah menurut hala dan haramnya
5)      Khalifah Abu Bakar menamakan dirinya “Khalifah Rasulullah“. Penamaannya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW kerana beliau tidak menamakannya dan melantiknya, malah beliau menamakan Ali dan melantiknya. Beliau bersabda:”Siapa yang aku menjadimaulanya maka Ali adalah maulanya.“Dan hadith-hadith yang lain tentang perlantikan Ali AS sebagai khalifah selepas Rasulullah SAW
6)      Khalifah Abu Bakar tidak membunuh Dhu al-Thadyah sedangkan Rasulullah SAW telah memerintahkan Abu Bakar supaya membunuh Dhu al-Thadyah. Abu Bakar mendapati lelaki itu sedang mengerjakan solat. Lalu dia berkata kepada Rasulullah SAW:”Subhanallah! Bagaimana aku membunuh lelaki yang sedang mengerjakan solat?” Sepatutnya dia membunuh lelaki itu tanpa mengira keadaan kerana Rasulullah SAW telah memerintahkannya. Tetapi dia tidak membunuhnya, malah dia menggunakan ijtihadnya bagi menyalahi Sunnah Rasulullah SAW.
7)      . Khalifah Abu Bakar berpendapat bahawa seorang khalifah bukan semestinya orang yang paling alim (afdhal). Ijtihadnya adalah bertentangan dengan firman Tuhan di dalam Surah al-Zumar (39):9:”Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” dan firman-Nya di dalam Surah Yunuss (10):35:”Maka apakah orang-orang yang menunjuki jalan kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang-orang yang tidka dapat memberi petujuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?”
8)      Khalifah Abu Bakar tidak pernah melakukan korban (penyembelihan) kerana khuatir kaum Muslimin akan menganggapnya wajib. Tindakannya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW yang menggalakkannya
Demikianlah sebagian ijtihad dari Abu Bakar yang dapat kami paparkan dalam kajian ilmiah ini. Banyak pemikiran yang mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh Abu Bakar ini bertentangan dengan nash, tapi menurut hemat kami, dia melakukan semua itu atas dasar kemaslahatan dan ketaawdhu’annya
2.      Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria.[25][52] Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan Umarlah yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender penanggalan.
Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang tidak memberikan gaji secara wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memberikan zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dll.[26]
a)      Tindakan-tindakan Khalifah Umar ;
1)      Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke Mesir.
2)      Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu.
3)      Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yang dilakukan sesudah shalat isya’, selama bulan Ramadlan.

b)     Tindakan Umar dalam  bidang hukum,  ada beberapa contoh ijtihad Umar antara ain sebagai berikut :[27]
1)      Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdqsarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya dalah untuk  melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.Umar menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.
2)      Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan dalam Alquran. Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin) terputus hubungan    dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
3)      Menurut alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
4)      Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.
5)      Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari. Isinya antara lain ;
- Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu perkara;
- Hakim mempelajari dahulu  berkas perkara itu sebaik-baiknya.  Setelah jelas duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
- keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
- Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
- Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
- Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;
- Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.
- Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati kebenaran.

3.      Masa Pemerintahan Khalifah  Utsman bin Affan
Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 sampai 655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang mempunyai kepribadian yang lemah.Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kekayaan dan kemewahan.
Hal ini  dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang sekarang disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.[28]

a)      Tindakan-tindakan  Khalifah Utsman:[29]
1)      Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menjalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf), kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di masjid besarnya masing-masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam. Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita liat sekarang ini.
2)      Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia sekarang menunjukkan bahwa diantara kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak dapat dibuktikan telah pernah dipasulkan oleh tangan manusia. Ia tetap asli seperti waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun baik dalam surah maupun dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.
3)      Menyalin dan membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran. Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.
4)      Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan Konstantinopel.

b)     Contoh Ijtihad Khalifah Utsman :
Hukum-hukum dan perbuatna-perbuatan khalifah Ustman yang bertentangan dengan nas tetapi di anggap sebagai ijtihad sebagaimana dicatat oleh para ulama kita Ahlul Sunnah Wal-Jama’ah di dalam buku-buku mereka. Diantaranya:
1)   Khalifah Ustman adalah orang yang pertama memerintahkan azan (pertama) dilakukan sebelum azan (kedua) khutbah. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAWA.
2)   Khalifah Ustman adalah orang pertama yang mendahulukan khutbah Hari Raya di dalam solat Hari Raya. Ianya adalah bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw.
3)   Khalifah Ustman tidak menjalankan hukum Qisas ke atas Ubaidullah bin Umar al-Khattab kerana membunuh Hurmuzan dan Jufainah. Sebaliknya membawanya ke Kufah dan membenarkannya menetap di sana. Kaum Muslimin menentang Sunnahnya. Oleh itu pembekuan khalifah Ustman terhadap hukum bunuh Ubaidullah bin Umar yang telah membunuh Hurmuzan dan Jufainah adalah satu perbuatan yang menyalahi nas
4)   Khalifah Ustman telah memberikan khums Afrika Utara kepada Marwan bin Hakam kemudian Marwan membelanjakannya untuk membina istana. Justeru itu perbuatannya adalah bertentangan dengan nas. Sebagaimana juga ia telah dinyatakan oleh Ibn Abd Rabbih:”Di antara kebencian orang ramai terhadap Ustman ialah memberi fadak kepada Marwan, dan apabila dia membuka Afrika Utara ia mengambil khums dan memberikannya kepada Marwan. Oleh itu terbukti bahawa ijtihad Ustman memberi fadak dan khums Afrika kepada Marwan adalah bertentangan dengan nas.
5)   Khalifah Ustman mengharamkan Haji Tamattu’, sedangkan ia adalah halal. Ali AS menentang ijtihadnya itu kerana ia menyalahi nas.
6)   Khalifah Ustman memerintahkan supaya direjam seorang perempuan bersuami yang mengandung 6 bulan. Apabila Ali AS mengetahuinya, beliau menentang hukum tersebut kerana ia bertentangan dengan Surah al-Ahqaf (46): 15 dan Surah al-Baqarah (2): 233. Kedua-dua ayat tersebut bererti masa penyusuan ialah 24 bulan dan masa mengandung yang paling kurang ialah 6 bulan. Sepatutnya khalifah Ustman menangguhkan hukuman tersebut dan menyelamatkan kandungan yang tidak berdosa itu.
7)   Khalifah Ustman melakukan solat 4 rakaat di Mina, sedangkan Rasulullah SAWA melakukan solat di Mina 2 rakaat. Daripada Abdullah bin Umar berkata:”Rasulullah SAWA melakukan solat dengan kami di Mina 2 rakaat begitu juga Abu Bakar, Umar dan Ustman di masa awal pemerintahannya. Kemudian Ustman sembahyang 4 rakaat.”Abdullah bin Umar apabila melakukan solat bersama khalifah Ustman di Mina beliau melakukan solat 4 rakaat, tetapi apabila melakukan solat seorang diri, dia melakukan 2rakaat. Sepatutnya khalifah Ustman mengikut Sunnah Nabi SAWA yang melakukan 2 rakaat Qasar Zuhr, Asar dan Isyak di Mina.
8)   Khalifah Ustman tidak melaksanakan hukum hudud ke atas al-Walid bin Uqbah kerana meminum arak. Dia mengerjakan solat Subuh empat rakaat di dalam keadaan mabuk dan bertanya:”Adakah aku perlu menambah lagi rakaatnya?”Mereka menjawab:”Tidak, kami telah mengerjakan solat kami.”Mereka memberitahu khalifah Ustman mengenainya, lantas khalifah Ustman memarahi mereka, lalu memukul saksi-saksi tersebut. Kemudian mereka memberitahu Aisyah mengenainya. Aisyah berkata:”Ustman telah membatalkan hudud dan memukul saksi-saksi.”
9)   Khalifah Ustman berpendapat bahawa tidak wajib mandi janabah bagi seorang yang menyetubuhi isterinya tanpa keluar mani. Ijtihadnya itu adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi saw,"Apabila bertemu dua khatan, maka wajiblah mandi janabah."
10)    Khalifah Ustman mewajibkan zakat kuda sedangkan Rasulullah saw tidak mewajibkannya. Rasulullah saw bersabda,”Aku memaafkan kalian zakat kuda dan hamba.”Khalifah Ustman mewajibkan zakat kuda sedangkan Rasulullah saw tidakmewajibkannya. Rasulullah saw bersabda,”Aku memaafkan kalian zakat kuda dan hamba.”
11)    Khalifah Ustman tidak melantik orang Muhajirin dan Ansar di dalam mengendalikan urusan pemerintahannya, dan tidak bermesyuarat dengan mereka pula. Malah melantik kerabat-kerabatnya dari Banu Umaiyyah. sedangkan mereka terdiri daripada orang-orang yang layak untuk memegang jawatan penting seperti gabenor-gabenor dan lain-lain. Tetapi Ustman melantik keluarganya al-Walid bin Uqbah sebagai gabenor di Basrah yang terkenal dengan pemabuk.
12)    Khalifah Ustman telah mengambil tempat khas (hima) untuknya dan kerabat-kerabatnya.Dia melarang kaum Muslimin menggunakan tempat-tempat tersebut yang mengandungi rumput-rumput dan lain-lain, sedangkan Rasulullah saw. Menjadikan tempat-tempat tersebut milik bebas kaum Muslimin iaitu mereka bebas memiliki air, rumput, dan api secara saksama. Rasulullah saw bersabda:”Kaum Muslimin berkongsi di dalam tiga perkara, rumput-rumputan, air danapi.”

4.      Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu, hubungannya rapat sekali dengan nabi.  Ali adalah keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika nabi Muhammas masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa hubungan nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan Harun. Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang berpendapat demikian terkenal dengan golongan syi’ah. Ali terkenal dengan kemahirannya sebagai qadli, sejak zaman Nabi.
Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk mengembangkan hukum islam[30]. Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini, antara lain :- Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah yang berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad; - Kelompok syiah yaitu pengikut ali bin Abi Thalib.
Dasar perpecahan adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa saja yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system hukum dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat di Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.[31]







BAB III
PENUTUPAN
Setelah Rasulullah wafat Tonggak kepemimpinan beralih pada Khulafa’ Ar-rasyidin sebagai penerus misi kerasulan, namun seiring berkembangnya zaman dan semakin melebarnya sayap islam, maka hukum yang ada dalam islam pun bertambah setelah permasalahan tidak ditemukan dalam Alquran dan as-sunnah maka para sahabat menggunakan metode Ijtihad dan menghasilkan Ijma’ (kesepakatan bersama). Para sahabat berijtihad sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Bakat dan kemampuan para sahabat terasah dengan cara berdialog dengan Rasulullah, serta menyaksikan metode yang diterapkan Rasulullah dalam hukum dan berijtihad. Dengan demikian, gelanggang ijtihad para sahabat sangatlah luas dan menampung segala hajat hidup manusia serta kemaslahatannya.
Diwaktu itu telah banyak bangsa dan negara yang memeluk islam, dan letaknya (kadang) saling berjauhan. Untuk itu kemerdekaan berijtihad merupakan syarat mutlak untuk memunculkan undang-undang dan peraturan bagi segala bentuk muamalat dan kebutuhan hidup umat manusia. Kadang ada sahabat yang melontarkan pendapat karena pernah melihat Rasulullah menyelesaikan masalah dengan berijtihad.
Kemudian berkatalah Abu Bakar. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sebagai pemelihara Sunnah Nabi. Bila Abu Bakar menemui kesulitan untuk menafsirkan Sunnah Rasulullah, maka beliau mengumpulkan para pemuka umat dan orang-orang pilihan. Bila ada kesepakatan tentang suatu perkara dari kesemuanya, maka Abu Bakar memutuskan perkara memakai Ijma’, yakni kesepakatan dan keputusan bersama para pemuka umat dan orang-orang terpilih.


[1] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,2000), 37.
[2]Mun’im A, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 33.
[3]Ibid.,34.
[4]Jaih Mubarok, Sejarah,38.
[5]Ibid., 38.
[6]Ibnu Rochman, Hukum Islam dalam Perspektif Filsafat, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), 50.
[7]Ibid., 54.
[8]Ibid., 56-57
[9]Ibid., 57-58
[10]Jaih Mubarok, Sejarah, 41.
[11]Ibid., 42.
[12]Mun’im A, Sejarah Fiqh, 36.
[13]Rasyid Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta: AMZAH, 2009), 62.
[14]Ibid., 67-69.
[15]Ibid.,  68
[16]Ibid., 70.
[17]Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentukan dan perkembangan hukum islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 49.
[18]Atho Mudzakar,  Membaca Gelombang  ijtihad (Yogyakarta : Titian ilahi Prees,2000), 35.
[19]Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum islam, (Bandung: Marja, 2005),40.
[20]Abdul wahhab, Sejarah Hukum Islam, 42.
[21]Rasyid Hasan, Tarikh Tasyri’, 75-77.
[22]Ibid., 61.
[23]IdrisRamulya,,Asas-asasHukum Islam. (Jakarta: SinarGrafika.2004.), 122.
[24]Ibid.,123
[25]Ibid.,124.
[26]Ibid.,125-127
[27]Ibid.,128-130
[28]Ibid.,
[29]Ibid.,132-134.
[30]Ibid.,137.
[31]Ibid.